Beranda | Artikel
Shalat Jenazah bagi Pelaku Bunuh Diri
17 jam lalu

Shalat Jenazah bagi Pelaku Bunuh Diri ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 2 Rajab 1447 H / 22 Desember 2025 M.

Kajian Tentang Shalat Jenazah bagi Pelaku Bunuh Diri

    Berdasarkan pertimbangan maslahat yang lebih besar, tokoh agama dianjurkan untuk tidak menyalati jenazah tersebut. Tujuannya adalah memberikan peringatan keras kepada masyarakat agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang sama. Hal ini merujuk pada teladan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang pernah didatangi jenazah seseorang yang mati bunuh diri, namun beliau tidak menyalatinya secara langsung sebagai bentuk pelajaran.

    Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan:

    أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ

    “Pernah didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang laki-laki yang membunuh dirinya dengan anak panah lebar, maka beliau tidak menyalatinya.” (HR. Muslim)

    Meskipun demikian, dalam riwayat lain beliau tetap memerintahkan para sahabat untuk menyalatinya dengan bersabda:

    صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ

    “Shalatilah sahabat kalian ini.” (HR. Muslim)

    Shalat Jenazah bagi Syuhada Perang

      Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum menyalati orang yang mati syahid di medan peperangan. Perbedaan ini merupakan masalah ijtihadiyah yang didasarkan pada petunjuk dalil yang beragam, sehingga menuntut sikap saling menghormati.

      Pendapat Pertama: Tidak Dishalati

      Pendapat mayoritas ulama (Jumhur), termasuk Imam Malik, Imam Syafi’i, salah satu riwayat Imam Ahmad, serta Ishaq bin Rahuyah, menyatakan bahwa syuhada perang tidak dishalati. Dasar pendapat ini adalah hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu mengenai para syuhada Uhud:

      أَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ

      “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk menguburkan mereka beserta darah-darah mereka, tidak dimandikan, dan tidak pula dishalati.” (HR. Bukhari)

      Hadits ini menunjukkan bahwa shalat jenazah tidak disyariatkan bagi syuhada yang gugur di medan tempur.

      Pendapat Kedua: Tetap Wajib Dishalati

      Imam Abu Hanifah, Imam Ats-Tsauri, Ibnu Musayyib, dan Hasan Al-Bashri berpendapat bahwa kewajiban shalat jenazah tetap berlaku bagi syuhada. Pendapat ini merujuk pada hadits Syaddad ibnul Had mengenai seorang Arab Badui yang masuk Islam dan gugur terkena panah saat berperang bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

      Disebutkan dalam hadits tersebut bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memuji kejujuran imannya:

      صَدَقَ اللهَ فَصَدَقَهُ

      “Ia jujur kepada Allah, maka Allah pun membenarkannya.” (HR. An-Nasa’i)

      Setelah itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengafani jenazah tersebut dengan jubah beliau, meletakkannya di depan, kemudian menyalatinya. Hadits ini dinilai shahih dan diriwayatkan juga oleh Al-Hakim serta Al-Baihaqi.

      Pendapat Ketiga: Dianjurkan (Sunnah)

      Pendapat ketiga menyatakan bahwa menyalati orang yang mati syahid di medan peperangan tidak wajib, namun tidak pula dilarang. Apabila jenazah tersebut disalati, maka hal itu merupakan ibadah sunnah yang berpahala. Pandangan ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, pendapat Ibnu Hazm, serta dikuatkan oleh Ibnu Qayyim Rahimahullah.

      Pendapat ketiga ini dinilai lebih dekat kepada dalil karena mampu mengompromikan dua hadits shahih yang sekilas tampak bertentangan.

      Hadits pertama berkaitan dengan syuhada Uhud yang tidak dishalati oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hal ini menunjukkan bahwa menyalati jenazah yang gugur di medan pertempuran bukan lagi merupakan kewajiban atau fardu kifayah.

      Hadits kedua berkaitan dengan seorang Arab Badui yang mati syahid di medan pertempuran. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengafani orang tersebut dengan jubah beliau, kemudian menyalatinya.

      Kedua hadits shahih tersebut dikompromikan dengan pemahaman bahwa ketiadaan shalat bagi syuhada Uhud menunjukkan tidak wajibnya amalan tersebut, sedangkan tindakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyalati syuhada lainnya menunjukkan kebolehan atau kesunnahannya. Dengan demikian, kedua dalil tersebut dapat diamalkan tanpa harus saling membenturkan satu sama lain.

      Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

      Download mp3 Kajian


      Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55917-shalat-jenazah-bagi-pelaku-bunuh-diri/